Tentang Pemimpin Wakanda

Saat menulis ini perasaan aku sedang patah hati, marah dan benci RI1 dan komplotannya. Batasan usia calon pemimpin daerah diubah. Lahhh yang tua ajâ tergoda korupsi, apalagi yang muda yang menyala. Emang negara ini cuma milik satu keluarga doang? Tahun depan UKT naik, ongkos jalan tol naik, ONH juga naik. Gaji rakyat dipotong semena-mena. Potongan untuk iuran BPJS naik, tambah potongan untuk Tapera lagi. Ini kebijakan atau perampokan sih?

Sengaja kali ya, rakyat dibikin melarat, dibikin bodoh, supaya bisa terus-menerus dimanfaatkan oleh setan-setan kekuasaan.

Benci perbuatannya yang zalim, perbuatannya yang tidak adil. Benci sekedarnya saja, jangan berlebihan. Jangan semua masalah (sampe tali sendal putus pun) kau jadikan dia kambing bule. Kubilang, jangan berlebihan. Entar tetiba diajak dinner satu meja dengannya, kena love-bombing, bisa meleleh klepek-klepek-klepek. Allah Maha Membolak-balik hati.

Jika diibaratkan pernikahan, adalah wajar jika sering terdapat gesekan. Normal kalau setiap bulan ada masalah dan perselisihan. Kalau komunikasi udah deadlock, beda visi misi, suaminya pemalas, m*k*nd* dan KDRT, maka dalam Islam kan istri boleh menggugat. Jangan jadi istri yang ngeluhin suaminya setiap hari, kurang ini kurang itu, zolim lah, blablabla, tapi tiap dua tahun melahirkan anaknya.

Mengeluh itu manusiawi, wajar, bukan aib, jadi sah-sah aja kalau demi kebaikan. Boleh sesekali gaduh, berisik. Boleh. Jika hubungan itu sudah berubah menjadi hubungan yang toksik, istri punya dua pilihan: terima atau lepaskan. Terima, nikmatin, jangan bolak-balik ngeluh karena itu pilihanmu. Atau lepaskan.

Saya follow akun seseembak pemilik kapal Yacht ⛵ yang akhirnya pindah kewarganegaraan. Dia nggak ada konten khusus yang mengeluhkan kebijakan pengelola negara, kecuali spill dikit doang, itu pun halus sekali.

Saat ini saya harus terima takdir sebagai WNI, dan wajar aja sesekali emosi dengan kebijakan bapak nomer satu itu. Saya manusia hidup, punya otak, punya asa, punya rasa. Emosi naik ketika melihat kezaliman tapi tak kuasa mengubahnya. Cuma sesaat, rilis. Ngedumel doang tidak mengubah keadaan. Idealnya sih maju nyaleg, nyapres, ubah dari dalam. Bagus, kalo kuat imannya. Kalo enggak, ketularan korup juga.

Terus? Ya niatkan aja ibadah. Terima takdir sebagai ladang ibadah. Lebih gampang nulisnya daripada ngamalinnya. Nulisnya juga sambil istighfar. Fokus lagi ngerjain hal-hal positif yang bikin happy dan sekiranya Allah rida. Masih banyak nikmat yang belum sempfet disyukuri. Perubahan itu dimulai dari diri sendiri.

Mungkin, jika suatu hari ada rezeki pindah kewarganegaraan, terus saya pindah, dan orang-orang ngatain “lari dari perjuangan” harus terima dengan lapang dada. Tidak semua orang mampu memahami ada hal yang patut diperjuangkan, ada yang tidak. Karena, saya bukan modelan istri orang lain di luar sana yang kuat saban hari ngeluhin suaminya, julid berjilid-jilid, eee tapi beranak lagi beranak lagi.

Rawamangun, 31 Mei 2024.

Gaji sekecil ini berkelahi dengan…

Film “Tuhan, izinkan aku berdosa”

Kemarin nonton film “Tuhan, izinkan aku berdosa” yang disutradarai Hanung Bramantyo. Film yang diadaptasi dari novel berjudul “Tuhan, izinkan aku menjadi p*” karya Muhiddin M. Dahlan ini mengalami banyak perubahan dari karya aslinya. Hanung memilih konflik lebih tebal dan besar, motifnya pun diperlebar sehingga menjadi suguhan yang menarik untuk difilmkan.

Nidah Kirani muslimah mahasiswi cerdas dari keluarga miskin yang berusaha mencintai Tuhannya tetapi terjebak dalam kelompok Islam radikal (kasus bom bunuh diri). Bukan cinta namanya kalau belum melalui berbagai cobaan. Ia mengalami ujian kekecewaan demi kekecewaan yang berujung pada kemarahan dan menggugat Tuhannya. Kiran memutuskan untuk berada di posisi melawan Tuhan, dan pilihan hidup ini harus dibayar sangat mahal.

===

Baik novel maupun filmnya sama-sama mendapatkan kritik pedas terutama dari kelompok “aktifis” Islam. Dalam perspektif mereka, novel dan film ini hanya menyajikan sisi gelap gerakan dakwah dan berpotensi menjauhkan masyarakat dari kajian-kajian keislaman. Bahkan, ada yang melabeli novel dan film sampah. Well,  menurut saya bebas aja sih orang-orang mau mengkritisi karya ini dari sudut pandang mana. Lebih keren lagi dibuatkan juga novel tandingan. Ajukan proposal ke produsernya Hanung dan penulis skenarionya. Jadi, masyarakat disuguhkan dua sisi: gelap dan terang (sebagai solusi dan contoh baik).

===

“Aku tidak ingin takut kepada-Mu Ya Allahh, aku ingin mencintai-Mu dengan bebas, aku ingin mencintai-Mu dengan bahagia, tanpa iming-iming surga dan ditakut-takuti neraka. “

Film ini menyindir semua pihak: anak muda  yang cerdas tapi emosional, oknum pemuka agama yang gaslighting demi kepentingan pribadi, murid-murid yang taklid buta, budaya menghakimi, orangtua yang tidak merangkul anaknya ketika anaknya kena masalah, pendidik yang bertopeng family man, dan pejabat yang berkedok agama. Semua ada di masyarakat. Bukan fiktif.

Komentar saya:

Tokoh Kinan dan Kinan-Kinan lain di luar sana perlu mengkaji tafsir surah Al-Ankabût ayat 1-6 dari banyak guru dan dari berbagai perspektif mufasir.

Wallahu A’lam.

Zara Binti Ridwan Kamil

Orangtuanya. Ayah Ibunya. Kita semua sebagai orangtua dari anak-anak kita. Introspeksi Diri.

Anak perempuan umur 19 tahun terbiasa hidup enak berkecukupan, jelas belum cukup bijak membuat keputusan sendiri dalam hidupnya. Apalagi dia masih belum sembuh trauma dan kesedihan atas musibah keluarga. Belum healing, malah dilepas sendirian sekolah di Eropa. Ketemu lingkungan baru yang menggoda. Jauh dari orangtua, jauh dari komunitas agamanya, maka sunnatullahnya terjadi.

Refleksi, upaya melihat hikmah.

Sekolah Islam sejak TK bukan jaminan keimanan seseorang setelah dewasa, ya Bund. 😊

Kadang, tindakan orangtua kelihatan bertolak belakang dengan cita-cita. Harapan dan doanya “semoga jadi anak soleh/sholehah ya Nak,” tapi tindakannya: nyontohin joget TikTok, diikutkan lomba pragawati baju seksi (dipujapuji pulak), diperdengarkan musik² orang dewasa… bukannya disenandungkan sholawat, diperdengarkan muratal, ditemenin nyimak dongeng para nabi dan orang saleh dsb.

Disekolahinnya di sekolah yang lingkungannya borju dan “liberal” …. bukannya sejak dini dikondisikan untuk masuk pesantren. Kalau pun belajarnya di sekolah umum, panggil guru ngaji ke rumah, privat, intensif demi pondasi keimanan anak. Apalagi anaknya cerdas, guru-guru agamanya juga harus mumpuni menalar agama ke anak, sehingga anak memahami agama bukan sebatas hafalan atau ancaman masuk neraka, tapi karena konsekuensi logis sehingga ia cenderung mengejar cinta Tuhannya.

Orangtua bertanggung jawab memilihkan lingkungan yang saleh demi menjaga keimanan anak.

So, sudah relevan belum, gaya mendidik anak-anak kita selama ini dengan cita-cita berketurunan yang saleh? Kalo belum, masih ada waktu banyak taubat dan minta pertolongan kepada Allah. Orangtua yang suka bertaubat, sungguh-sungguh dalam taubatnya, dan menyibukkan diri dengan ketaatan, niscaya Allah beri pertolongan dari jalan yang tidak disangka.
Wallahu a’lam bish showâb.