Memaafkan Perspektif Tafsîr Al-Munîr

Setiap manusia memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, pemahaman beragama, dan lain-lain. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Perbedaan sudut pandang dan hal-hal sebagaimana tersebut di atas berpotensi jadi masalah baik kecil atau besar karena manusia juga makhluk perasa. Perselisihan mungkin terjadi dalam proses interaksi manusia yang mengakibatkan salah satu pihak merasa sedih, marah, kecewa atau sakit hati. Komunikasi memburuk, terjadi adu mulut atau silent treatment, putusnya hubungan silaturahmi, bahkan berujung di meja pengadilan. Hampir setiap hari muncul di media kasus-kasus kejahatan yang terjadi akibat dendam pelaku atas sikap perbuatan dan ucapan korban.

Masalah sakit hati tidak akan berlarut-larut apalagi sampai melakukan perbuatan kriminal ketika masing-masing pihak berbesar hati; pihak yang satu meminta maaf dan pihak yang lain memaafkan. Kenyataannya tidak sesederhana itu, walaupun ada pihak ketiga yang berupaya memediasi kedua pihak yang berselisih. Pihak yang satu tidak merasa bersalah sehingga keberatan (untuk apa) minta maaf. Sedangkan, pihak yang satunya merasa telah diperlakukan secara tidak adil, atau tersinggung harga dirinya. Dalam konteks pihak yang merasa dizalimi, butuh waktu, ilmu, dan support system untuk berdamai dengan keadaan dan memaafkan. Artikel ini bertujuan untuk mengulas perihal memaafkan orang lain ditinjau dari sudut pandang psikologi dan Tafsîr Al-Munîr.

Menurut KBBI kata memaafkan berasal dari “maaf” yang berarti pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan; ampun; ungkapan permintaan ampun atau penyesalan; ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu. Sedangkan, memaafkan berarti memberi ampun atas kesalahan dan sebagainya; tidak menganggap salah dan sebagainya lagi.

Dalam bahasa Inggris, memaafkan atau forgiveness umumnya didefinisikan oleh para ahli psikologi sebagai keputusan sadar dan disengaja untuk melepaskan perasaan dendam atau balas dendam terhadap seseorang atau kelompok yang telah menyakiti Anda, terlepas dari apakah mereka benar-benar layak mendapatkan pengampunan Anda. Penting untuk dicatat bahwa memaafkan  tidak berarti mengabaikan atau menyangkal keseriusan suatu pelanggaran. Ketika Anda memaafkan, Anda tidak mengabaikan atau menyangkal keseriusan pelanggaran terhadap Anda.

Memaafkan tidak berarti melupakan, juga tidak berarti melegalkan pelanggaran. Meskipun memaafkan dapat membantu memperbaiki hubungan yang rusak, itu tidak mewajibkan Anda untuk berdamai dengan orang yang menyakiti Anda, atau membebaskan mereka dari pertanggungjawaban hukum. Sebaliknya, forgiveness membawa kedamaian pikiran bagi si pemaaf dan membebaskannya dari kemarahan yang korosif. Meskipun ada beberapa perdebatan mengenai apakah pengampunan sejati membutuhkan perasaan positif terhadap pelaku, para ahli sepakat bahwa itu setidaknya melibatkan melepaskan perasaan negatif yang dipegang teguh. Forgiveness memberdayakan Anda untuk melepaskan perasaan negatif yang dipegang teguh, bahkan jika itu tidak memerlukan perasaan positif terhadap pelaku. Meskipun itu dapat membantu memperbaiki hubungan yang rusak, forgiveness tidak mewajibkan Anda untuk berdamai dengan orang yang menyakiti Anda atau membebaskan mereka dari pertanggungjawaban hukum. Para ahli psikologi menekankan forgiveness adalah keputusan sadar untuk melepaskan kebencian atau balas dendam tanpa menyangkal pelanggarannya.

Literatur-literatur tentang dinamika psikologis manusia dalam menjalankan ajaran agama menunjukkan bahwa agama juga berperan sebagai standar baku tentang perilaku ideal yang harus ditunjukkan pemeluk. Dengan memiliki identitas sosial yang kuat terhadap agama, maka seorang individu akan mengevaluasi semua sikap dan perilakunya selaras mungkin dengan apa yang diajarkan oleh agama, sekalipun itu bertentangan dengan sikap dan preferensi pribadinya.

Memaafkan merupakan sifat terpuji dan bagian dari akhlak mulia yang telah diperintahkan oleh Allah SWT pada para nabi serta hamba-Nya, berdasarkan firman Allah SWT, ”Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-A’râf/7: 199).

Menurut kamus Almaany daring, kata
“al-‘afwu” artinya memaafkan. Menurut Wahbah Az-Zuhaili, yang dimaksud dengan “al-‘afwu”  dalam ayat di atas adalah menyikapi sesuatu dengan toleran dan kemudahan serta menghindari orang lain dari berbagai bentuk kesulitan baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Allah SWT berfirman, “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali ‘Imrân/3: 134)

Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsîr Al-Munîr, ayat ini menjelaskan tentang sifat-sifat penghuni surga, yaitu: pertama, orang-orang yang bersedekah baik ketika dalam keadaan lapang dan senang maupun dalam keadaan sempit dan susah, baik dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sedang sakit. Senantiasa bersedekah dalam keadaan yang berlawanan ini merupakan bukti kuat ketakwaan mereka.

Kedua, orang-orang yang menahan amarah maksudnya apabila emosinya terbakar maka ia menahannya walaupun ia berkuasa melampiaskannya.  Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kuat bukanlah karena kekuatan fisiknya, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dan mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR Imam Ahmad dari Abu Hurairah r.a.).

Adapun cara mengatasi marah, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya marah adalah (pengaruh godaan) dari setan dan sesungguhnya setan diciptakan dari api, sedangkan api dipadamkan dengan air. Oleh sebab itu, jika salah satu dari kalian marah, maka hendaklah ia mengambil wudhu.” (HR Imam Ahmad dan Abu Daud dari ‘Athiyyah bin Sa’d as-Sa’di).
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah SWT akan memenuhi hatinya dengan kedamaian, ketentraman, dan keimanan.” (HR Abu Hurairah r.a.).

Ketiga, orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain, maksudnya orang-orang yang memaafkan orang lain yang telah berbuat tidak baik padahal mampu membalasnya. Ini adalah kemampuan menahan diri dan bukti keluasan akal, kecerdasan, dan kepribadian yang kuat. Memaafkan merupakan bentuk kemampuan menahan diri yang lebih tinggi kelasnya dibanding kemampuan menahan amarah, karena orang menahan amarah dan emosi kemungkinan di dalam hatinya masih menyimpan rasa benci dan marah. Al- Hakim dan Thabrani meriwayatkan dari Ubai bin Ka’b bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin istananya ditinggikan dan derajatnya ditinggikan, maka hendaklah ia memaaJkan orang yang menzhaliminya, memberi kepada orang yang tidak mau memberinya dan menyambung hubungan dengan orang yang memutuskannya.” (Al Hakim berkata hadis ini sahih berdasarkan syarat kesahihan Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs r.a. ia berkata bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat, ada penyeru memanggil, “Dimanakah orang-orang yang gemar memaafkan orang lain? Pergilah kalian kepada Rabb kalian dan ambillah pahala kalian. Sudah tetap dan pasti atas setiap muslim untuk masuk surga jika ia mau memaafkan orang lain.”

Keempatal-Muhsinûn yaitu orang-orang yang membalas kejahatan dengan kebaikan. Ini merupakan bentuk menahan diri atau pemberian maaf level tertinggi dari sifat-sifat para penghuni surga yang telah disebutkan sebelumnya dalam ayat 134 surah Ali’Imrân.

Tentu, bukan perkara mudah untuk dapat memaafkan dengan ikhlas kesalahan orang lain. Terkadang mulut memaafkan, namun hati masih menyimpan amarah dan dendam. Lalu bagaimana agar dapat ikhlas memaafkan kesalahan orang lain? Ada dua pendekatan yang dapat coba
ditempuh: Pertama, melalui pendekatan ilmu dengan memikirkan keutamaan memaafkan yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tumbuhkan keyakinan bahwa kesalahan orang lain adalah ladang kebaikan yang Allah berikan kepada kita bila disikapi dengan sabar dan memaafkan. Kedua, melalui pendekatan amal dengan mendoakan kebaikan terhadap orang yang bersalah kepada kita. Jangan sekali-kali mendoakannya dengan keburukan. Lebih jauh bahkan bisa dengan memberi hadiah pada orang tersebut agar rasa marah memudar berubah menjadi rasa persaudaraan. Membalas kebaikan dengan kebaikan adalah hal yang wajar. Namun, bila mampu membalas keburukan dengan kebaikan, itulah hakikatnya orang baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbuat baiklah kepada orang yang bersalah kepadamu. Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.”

Sedikitnya ada empat cara agar hati mampu memaafkan orang lain dengan legowo, yakni dengan mengingat-ingat balasan-Nya (ketentraman, kesehatan mental dan fisik, kebahagiaan di dunia, rida-Nya dan kenikmatan surga), bersalaman, mendoakan yang baik-baik, dan memberi hadiah. Memaafkan juga tidak harus bertemu dengan orangnya, cukup afirmasi berulang-ulang dalam pikiran dan lisan mengucapkan bahwa Anda telah memaafkannya karena Allah. Jika belum mampu juga, maka berdoalah kepada Allah Yang Maha Lembut dan Maha Pemaaf agar hati dapat memaafkan orang tersebut.

Wallâhu A’lam.

Referensi:

1. https://greatergood.berkeley.edu/topic/forgiveness/definition
2. https://www.bing.com/search?q=forgiveness+definition&FORM=bngcht&toWww=1&redig=AC98A363E712408E8658A86A232501B9
3. https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/forgiveness
4. https://halalmui.org/keutamaan-saling-memaafkan/
5. Wahbah Az-Zuhaili, Tafsîr Al-Munîr Jilid 2: Aqidah, Syari’ah, Dan Manhaj, Jakarta: Gema
Insani Press, 2013, h. 421-425.
6. https://muijember.or.id/kiat-ikhlas-memaafkan-kesalahan-orang-lain/

Alasan Menunda S3

Akhirnya… Setelah melalui diskusi dengan keluarga dan teman-teman, mempertimbangkan masukan dari sahabat, salat istikharah dan “ngobrol” dengan Sang Maha Mengetahui yang lahir dan yang gaib (masa depan),  semoga Allah meridai keputusanku menunda S3.

Terus, ngapain dong, abis ini? Ijasah belum diterima karena masih ada persyaratan yang belum dilengkapi (buku ber-ISBN masih proses cetak). Mau apply jadi dosen belum bisa. Capek-capek lulus S2, kerjanya nonton drakor, ruugi doung. 😜

Enggak gitu juga sih. Sejujurnya belum balik kebiasaan rally drakor, kok. Padahal sudah dicoba, kepingin nuntasin serial Under The Queen’s Umbrella belum berhasil, masih nyangkut episode 5, setengah musim aja belom. Padahal kecepatan disetting 1.50x.  Apalagi nonton yang lagi viral Queen of Tears, masih wacana, belum sempat satu episode pun.

Jadi, selain tetap mengajar tahsin Al Qur’an para mahmud (mamah-muda) yang luarbiasa semangat belajarnya, niatku dua tahun ini mau fokus tahfiz di LBQ Usmani, insyâ Allah. Aku berharap ritme hidupku bisa melambat, lebih slow-motion.

Karena, selama sekolah S2 kemarin proses tahfiz aku memang keserimpet-keserimpet, dua kali cuti. Ya, keteteran. Waktu dan energi kufokuskan nyusun makalah, berburu referensi, baca, catat, diskusi, rangkum dan analisis. Apalagi bulan-bulan terakhir menyelesaikan tesis dan mempersiapkan sidang. Sisa tilawah ODOJ doang tiap Subuh. Hari tahfiz hanya berhasil setor satu halaman dan murajaah dua halaman.

Sempat menyalahkan diri sendiri, belajar S2 jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsîr, tapi hafalannya terabaikan, gimana sih. Tapi kemudian istighfar, sadar kapasitas diri, dan bersyukur masih diberi kesempatan sekolah lagi, belajar bareng ulamâ (orang-orang berilmu, orang-orang yang takut kepada Allah), berada di lingkungan orang-orang yang tawadhu’ mâsyâ Allah.

Serakah ilmu itu bagus, tapi lihat kondisi, jangan menzalimi diri sendiri, pakai skala prioritas. Oleh sebab ini, aku menyerahkan mimpiku (sekolah lagi) kepada Allah Sang Maha Mengetahui. Kalau memang itu baik bagiku, baik bagi keluargaku, baik bagi duniaku dan baik bagi akhiratku, insyâ Allah ada jalannya, ada waktunya. So, stop overthinking. Perbanyak syukur ajâ dan fokus curahkan energi kepada pilihan yang telah diputuskan. Life is beautiful.

Dasar keputusanku adalah firman-Nya, surah at-Thalâq/65:2-3 (takwa, pembuka jalan dan rezeki), At-Taghâbun/64: 16 (bertakwa sesuai kemampuan), Ibrahim/14:7 (bersyukur, nikmat akan ditambah). Allah SWT berfirman dalam sebuah hadis Qudsi,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: مَنْ شَغَلَهُ الْقُرْآنُ عَنْ ذِكْرِي وَمَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ، وَفَضْلُ كَلَامِ اللهِ عَلَى سَائِرِ الكَلَامِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ»



Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Ar-Robb ﷻ berfirman: “Barang siapa yang disibukan oleh al Qur’an dari berdzikir kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka Aku pasti memberikan kepadanya sesuatu yang lebih utama daripada yang diberikan kepada orang-orang yang memohon kepada-Ku. Dan keutamaan perkataan Allah atas seluruh perkataan adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluk-Nya.”

Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, no. 2916; Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, no. 1860, dan di dalam Al-Asma’ was Shifat, no. 507, sebagai hadis qudsi.

Wallahu a’lam bish showâb