Film “Tuhan, izinkan aku berdosa”

Kemarin nonton film “Tuhan, izinkan aku berdosa” yang disutradarai Hanung Bramantyo. Film yang diadaptasi dari novel berjudul “Tuhan, izinkan aku menjadi p*” karya Muhiddin M. Dahlan ini mengalami banyak perubahan dari karya aslinya. Hanung memilih konflik lebih tebal dan besar, motifnya pun diperlebar sehingga menjadi suguhan yang menarik untuk difilmkan.

Nidah Kirani muslimah mahasiswi cerdas dari keluarga miskin yang berusaha mencintai Tuhannya tetapi terjebak dalam kelompok Islam radikal (kasus bom bunuh diri). Bukan cinta namanya kalau belum melalui berbagai cobaan. Ia mengalami ujian kekecewaan demi kekecewaan yang berujung pada kemarahan dan menggugat Tuhannya. Kiran memutuskan untuk berada di posisi melawan Tuhan, dan pilihan hidup ini harus dibayar sangat mahal.

===

Baik novel maupun filmnya sama-sama mendapatkan kritik pedas terutama dari kelompok “aktifis” Islam. Dalam perspektif mereka, novel dan film ini hanya menyajikan sisi gelap gerakan dakwah dan berpotensi menjauhkan masyarakat dari kajian-kajian keislaman. Bahkan, ada yang melabeli novel dan film sampah. Well,  menurut saya bebas aja sih orang-orang mau mengkritisi karya ini dari sudut pandang mana. Lebih keren lagi dibuatkan juga novel tandingan. Ajukan proposal ke produsernya Hanung dan penulis skenarionya. Jadi, masyarakat disuguhkan dua sisi: gelap dan terang (sebagai solusi dan contoh baik).

===

“Aku tidak ingin takut kepada-Mu Ya Allahh, aku ingin mencintai-Mu dengan bebas, aku ingin mencintai-Mu dengan bahagia, tanpa iming-iming surga dan ditakut-takuti neraka. “

Film ini menyindir semua pihak: anak muda  yang cerdas tapi emosional, oknum pemuka agama yang gaslighting demi kepentingan pribadi, murid-murid yang taklid buta, budaya menghakimi, orangtua yang tidak merangkul anaknya ketika anaknya kena masalah, pendidik yang bertopeng family man, dan pejabat yang berkedok agama. Semua ada di masyarakat. Bukan fiktif.

Komentar saya:

Tokoh Kinan dan Kinan-Kinan lain di luar sana perlu mengkaji tafsir surah Al-Ankabût ayat 1-6 dari banyak guru dan dari berbagai perspektif mufasir.

Wallahu A’lam.

Zara Binti Ridwan Kamil

Orangtuanya. Ayah Ibunya. Kita semua sebagai orangtua dari anak-anak kita. Introspeksi Diri.

Anak perempuan umur 19 tahun terbiasa hidup enak berkecukupan, jelas belum cukup bijak membuat keputusan sendiri dalam hidupnya. Apalagi dia masih belum sembuh trauma dan kesedihan atas musibah keluarga. Belum healing, malah dilepas sendirian sekolah di Eropa. Ketemu lingkungan baru yang menggoda. Jauh dari orangtua, jauh dari komunitas agamanya, maka sunnatullahnya terjadi.

Refleksi, upaya melihat hikmah.

Sekolah Islam sejak TK bukan jaminan keimanan seseorang setelah dewasa, ya Bund. 😊

Kadang, tindakan orangtua kelihatan bertolak belakang dengan cita-cita. Harapan dan doanya “semoga jadi anak soleh/sholehah ya Nak,” tapi tindakannya: nyontohin joget TikTok, diikutkan lomba pragawati baju seksi (dipujapuji pulak), diperdengarkan musik² orang dewasa… bukannya disenandungkan sholawat, diperdengarkan muratal, ditemenin nyimak dongeng para nabi dan orang saleh dsb.

Disekolahinnya di sekolah yang lingkungannya borju dan “liberal” …. bukannya sejak dini dikondisikan untuk masuk pesantren. Kalau pun belajarnya di sekolah umum, panggil guru ngaji ke rumah, privat, intensif demi pondasi keimanan anak. Apalagi anaknya cerdas, guru-guru agamanya juga harus mumpuni menalar agama ke anak, sehingga anak memahami agama bukan sebatas hafalan atau ancaman masuk neraka, tapi karena konsekuensi logis sehingga ia cenderung mengejar cinta Tuhannya.

Orangtua bertanggung jawab memilihkan lingkungan yang saleh demi menjaga keimanan anak.

So, sudah relevan belum, gaya mendidik anak-anak kita selama ini dengan cita-cita berketurunan yang saleh? Kalo belum, masih ada waktu banyak taubat dan minta pertolongan kepada Allah. Orangtua yang suka bertaubat, sungguh-sungguh dalam taubatnya, dan menyibukkan diri dengan ketaatan, niscaya Allah beri pertolongan dari jalan yang tidak disangka.
Wallahu a’lam bish showâb.